Senin, 21 November 2016

Pemukiman Kumuh

Ledakan populasi pada kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun laju kelahiran yang tidak terkendali, menjadi salah satu penyebab terbentuknya pemukiman kumuh. Lebih lanjut, hal ini diakibatkan oleh kesenjangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan pemukiman-pemukiman baru yang layak, sehingga warga mencari alternatif tinggal di pemukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman pun akhirnya digunakan sebagai area pemukiman kumuh, seperti bantaran sungai, pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, bahkan di bawah jembatan.

Prof. Dr. Parsudi Suparlan, akademisi yang ahli dalam masalah perkotaan, mengemukakan sejumlah ciri pemukiman kumuh adalah sebagai berikut.
1) Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2) Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3) Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4) Pemukiman kumuh merupakan suatu komunitas yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:
• komunitas tunggal yang tinggal di atas tanah milik negara dan dapat digolongkan sebagai hunian liar,
• komunitas tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga), dan
• komunitas tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan dan bukan hunian liar.
5) Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beraneka ragam, begitu juga asal-muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan kemampuan ekonomi mereka.
6) Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah pekerja sektor informal.


Sementara Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI juga mengungkap beberapa kriteria pemukiman yang dianggap kumuh adalah sebagai berikut. 
a) Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah dan memiliki sistem sosial yang rentan. 
b) Sebagian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal. 
c) Lingkungan pemukiman, rumah, fasilitas, dan prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat bermukim, misalnya memiliki: 
• kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2,
• kepadatan bangunan > 110 bangunan/ha, 
• kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan), 
• kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, 
• kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal sebagai tempat tinggal, 
• pemukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit, dan 
• kawasan pemukiman berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan non fisik) bagi manusia dan lingkungannya.

Sehubungan keterbatasan dalam beragam aspek, pemukiman kumuh sejatinya menjadi lahan yang subur bagi bertumbuhnya beragam masalah sosial. Memusatnya kemiskinan di satu lokasi, berpotensi melahirkan berbagai perilaku menyimpang dan kejahatan. Pada akhirnya hal itu akan mengancam keseimbangan sosial di perkotaan.

RANGKUMAN



1) Suatu kota sangat dipengaruhi oleh mobilitas penduduknya. 
2) Warga yang mampu cenderung memilih tempat hunian menjauhi pusat kota dengan alasan kenyamanan. 
3) Sebaliknya, warga miskin akan cenderung memilih tempat tinggal di pusat kota, demi memudahkan mencari kerja (bagi yang belum memiliki pekerjaan) dan menghemat biaya transportasi menuju tempat kerja (bagi yang telah bekerja). 
4) Tidak tersedianya fasilitas perumahan yang terjangkau oleh penghasilan warga miskin dan tingginya kebutuhan akses menuju pusat kota, menjadi penyebab munculnya kawasan pemukiman kumuh di perkotaan

This Is The Newest Post


EmoticonEmoticon