Mengkaji tentang gizi buruk berarti mengangkat sisi lain kehidupan
sosial yang mungkin paling membingungkan, menyentuh, sekaligus
memprihatinkan. Mengapa dikatakan begitu? Karena ada dua hal yang saling
bertolak belakang yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, berkaitan
dengan upaya pemenuhan kebutuhan gizi.
Di satu sisi, ada golongan orang kaya yang sebenarnya mampu memenuhi
kebutuhan gizi secara ideal, namun lebih memilih untuk menyiksa diri
dengan diet secara berlebihan agar dapat mengikuti citra cantik yang
dikampanyekan media. Tanpa berpikir panjang, mereka rela menahan lapar
dan membiarkan tubuhnya kekurangan gizi demi memeroleh bentuk tubuh
kurus dan ideal menurut keyakinan mereka.
Di sisi lain, masih ada masyarakat miskin yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan gizi keluarga sehingga menciptakan perangkap kemiskinan.
Karena miskin, maka keluarga bersangkutan tidak mampu membeli bahan
makanan bergizi untuk dikonsumsi sehari-hari. Mereka biasanya menerapkan
prinsip ‘asal kenyang’ dalam konsumsi pangannya, sehingga kebanyakan
mengonsumsi pangan sumber karbohidrat, sedangkan asupan protein, lemak,
dan vitamin yang sering diidentikkan secara awam dengan bahan pangan
yang harganya mahal, seperti telur, daging, ikan, sayuran, dan
buah-buahan kerap diabaikan. Hal itu akan berdampak pada rendahnya
produktivitas keluarga. Pada akhirnya, mobilitas sosial untuk
memperbaiki status kehidupan dipastikan terhambat, sehingga keluarga
miskin akan melahirkan keluarga miskin juga. Inilah gambaran perangkap
kemiskinan yang sampai sekarang belum dapat teratasi sepenuhnya di
Indonesia.
Mencermati fenomena sosial di atas, sejatinya banyak hal yang bisa
dilakukan. Pada golongan orang kaya, mesti ditumbuhkan kesadaran bahwa
kesehatan jauh lebih penting dibandingkan dengan citra cantik. Tidak ada
gunanya memiliki tubuh kurus kering bak peragawati jika akhirnya malah
jatuh sakit atau berujung pada kematian. Jika memang ingin melakukan
diet, sebaiknya lebih dikarenakan alasan kesehatan untuk mencegah
penyakit-penyakit tertentu, namun dengan tetap memperhatikan kecukupan
asupan gizi bagi tubuh.
Golongan orang kaya perlu diyakinkan untuk mau berbagi dengan
golongan keluarga miskin agar kebutuhan gizi keluarga miskin dapat
terpenuhi. Untuk ini, diperlukan rasa kesetiakawanan dan kepedulian
sosial terhadap sesama, sedangkan keluarga miskin hendaknya diedukasi
agar tidak selalu mengasosiasikan gizi dengan bahan makanan yang
harganya mahal, seperti daging, hati, dan lainnya. Sesungguhnya masih
banyak sumber gizi lain yang bisa diperoleh dengan harga yang relatif
terjangkau, seperti tahu, tempe, atau telur. Sayangnya, akhir-akhir ini
tahu dan tempe acap kali sulit ditemui di pasaran. Harga kedelai yang
terus meningkat dan tidak terkendali mengakibatkan banyak pengrajin
tempe kesulitan mencari bahan baku, sehingga memilih menghentikan
kegiatan produksinya. Pilihan pangan bergizi pun menjadi kian terbatas.
Padahal, hanya dengan kecukupan asupan gizi secara bertahaplah keluarga
miskin akan dapat meningkatkan kesehatannya dan dapat melakukan berbagai
aktivitas yang produktif dalam memenuhi kebutuhan hidup.
RANGKUMAN
1) Mengkaji tentang gizi buruk berarti mengangkat sisi lain
kehidupan sosial yang mungkin paling membingungkan, menyentuh, sekaligus
memprihatinkan.
EmoticonEmoticon