Senin, 21 November 2016

Pemukiman Kumuh

Ledakan populasi pada kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun laju kelahiran yang tidak terkendali, menjadi salah satu penyebab terbentuknya pemukiman kumuh. Lebih lanjut, hal ini diakibatkan oleh kesenjangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk menyediakan pemukiman-pemukiman baru yang layak, sehingga warga mencari alternatif tinggal di pemukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman pun akhirnya digunakan sebagai area pemukiman kumuh, seperti bantaran sungai, pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, bahkan di bawah jembatan.

Prof. Dr. Parsudi Suparlan, akademisi yang ahli dalam masalah perkotaan, mengemukakan sejumlah ciri pemukiman kumuh adalah sebagai berikut.
1) Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2) Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3) Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4) Pemukiman kumuh merupakan suatu komunitas yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:
• komunitas tunggal yang tinggal di atas tanah milik negara dan dapat digolongkan sebagai hunian liar,
• komunitas tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga), dan
• komunitas tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan dan bukan hunian liar.
5) Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beraneka ragam, begitu juga asal-muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan kemampuan ekonomi mereka.
6) Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah pekerja sektor informal.


Sementara Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI juga mengungkap beberapa kriteria pemukiman yang dianggap kumuh adalah sebagai berikut. 
a) Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah dan memiliki sistem sosial yang rentan. 
b) Sebagian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal. 
c) Lingkungan pemukiman, rumah, fasilitas, dan prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat bermukim, misalnya memiliki: 
• kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2,
• kepadatan bangunan > 110 bangunan/ha, 
• kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan), 
• kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, 
• kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal sebagai tempat tinggal, 
• pemukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit, dan 
• kawasan pemukiman berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan non fisik) bagi manusia dan lingkungannya.

Sehubungan keterbatasan dalam beragam aspek, pemukiman kumuh sejatinya menjadi lahan yang subur bagi bertumbuhnya beragam masalah sosial. Memusatnya kemiskinan di satu lokasi, berpotensi melahirkan berbagai perilaku menyimpang dan kejahatan. Pada akhirnya hal itu akan mengancam keseimbangan sosial di perkotaan.

RANGKUMAN



1) Suatu kota sangat dipengaruhi oleh mobilitas penduduknya. 
2) Warga yang mampu cenderung memilih tempat hunian menjauhi pusat kota dengan alasan kenyamanan. 
3) Sebaliknya, warga miskin akan cenderung memilih tempat tinggal di pusat kota, demi memudahkan mencari kerja (bagi yang belum memiliki pekerjaan) dan menghemat biaya transportasi menuju tempat kerja (bagi yang telah bekerja). 
4) Tidak tersedianya fasilitas perumahan yang terjangkau oleh penghasilan warga miskin dan tingginya kebutuhan akses menuju pusat kota, menjadi penyebab munculnya kawasan pemukiman kumuh di perkotaan

Fenomena Kekurangan Gizi

Mengkaji tentang gizi buruk berarti mengangkat sisi lain kehidupan sosial yang mungkin paling membingungkan, menyentuh, sekaligus memprihatinkan. Mengapa dikatakan begitu? Karena ada dua hal yang saling bertolak belakang yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan gizi.
Di satu sisi, ada golongan orang kaya yang sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan gizi secara ideal, namun lebih memilih untuk menyiksa diri dengan diet secara berlebihan agar dapat mengikuti citra cantik yang dikampanyekan media. Tanpa berpikir panjang, mereka rela menahan lapar dan membiarkan tubuhnya kekurangan gizi demi memeroleh bentuk tubuh kurus dan ideal menurut keyakinan mereka.

Di sisi lain, masih ada masyarakat miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarga sehingga menciptakan perangkap kemiskinan. Karena miskin, maka keluarga bersangkutan tidak mampu membeli bahan makanan bergizi untuk dikonsumsi sehari-hari. Mereka biasanya menerapkan prinsip ‘asal kenyang’ dalam konsumsi pangannya, sehingga kebanyakan mengonsumsi pangan sumber karbohidrat, sedangkan asupan protein, lemak, dan vitamin yang sering diidentikkan secara awam dengan bahan pangan yang harganya mahal, seperti telur, daging, ikan, sayuran, dan buah-buahan kerap diabaikan. Hal itu akan berdampak pada rendahnya produktivitas keluarga. Pada akhirnya, mobilitas sosial untuk memperbaiki status kehidupan dipastikan terhambat, sehingga keluarga miskin akan melahirkan keluarga miskin juga. Inilah gambaran perangkap kemiskinan yang sampai sekarang belum dapat teratasi sepenuhnya di Indonesia.
Mencermati fenomena sosial di atas, sejatinya banyak hal yang bisa dilakukan. Pada golongan orang kaya, mesti ditumbuhkan kesadaran bahwa kesehatan jauh lebih penting dibandingkan dengan citra cantik. Tidak ada gunanya memiliki tubuh kurus kering bak peragawati jika akhirnya malah jatuh sakit atau berujung pada kematian. Jika memang ingin melakukan diet, sebaiknya lebih dikarenakan alasan kesehatan untuk mencegah penyakit-penyakit tertentu, namun dengan tetap memperhatikan kecukupan asupan gizi bagi tubuh.

Golongan orang kaya perlu diyakinkan untuk mau berbagi dengan golongan keluarga miskin agar kebutuhan gizi keluarga miskin dapat terpenuhi. Untuk ini, diperlukan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial terhadap sesama, sedangkan keluarga miskin hendaknya diedukasi agar tidak selalu mengasosiasikan gizi dengan bahan makanan yang harganya mahal, seperti daging, hati, dan lainnya. Sesungguhnya masih banyak sumber gizi lain yang bisa diperoleh dengan harga yang relatif terjangkau, seperti tahu, tempe, atau telur. Sayangnya, akhir-akhir ini tahu dan tempe acap kali sulit ditemui di pasaran. Harga kedelai yang terus meningkat dan tidak terkendali mengakibatkan banyak pengrajin tempe kesulitan mencari bahan baku, sehingga memilih menghentikan kegiatan produksinya. Pilihan pangan bergizi pun menjadi kian terbatas. Padahal, hanya dengan kecukupan asupan gizi secara bertahaplah keluarga miskin akan dapat meningkatkan kesehatannya dan dapat melakukan berbagai aktivitas yang produktif dalam memenuhi kebutuhan hidup.

RANGKUMAN


1) Mengkaji tentang gizi buruk berarti mengangkat sisi lain kehidupan sosial yang mungkin paling membingungkan, menyentuh, sekaligus memprihatinkan.

Kenakalan Remaja


Kenakalan remaja merupakan salah satu gejala sosial yang sering terdapat pada lingkungan sosial. Gejala sosial yang berupa kenakalan remaja ini hendaknya segera diatasi sesegera mungkin. Adapun penjelasan definsi para ahli mengenai kenakalan remaja dapat dijelaskan sebagai berikut.
Fuhrmann
Kenakalan remaja merupakan suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan mengganggu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Hurlock
Kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, di mana tindakan tersebut dapat membuat individu yang melakukannya dikenai hukuman pidana penjara.
Mussen
Kenakalan remaja dapat didefinisikan sebagai perilaku melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja berusia 16 –18 tahun. Jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa, maka akan mendapat sanksi hukum.
Santrock
Kenakalan remaja adalah kumpulan dari berbagai perilaku, meliputi perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.


Seorang psikolog perkembangan yang bernama Jensen membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk sebagai berikut. 
a) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, misalnya adalah perkelahian, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
b) Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti pengrusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, misalnya adalah penyalahgunaan narkoba/napza.
d) Kenakalan yang melawan status, misalnya adalah mengingkari status anak dengan pergi dari rumah atau menentang status pelajar dengan membolos sekolah.


Adapun pendapat lain dinyatakan oleh Hurlock (dalam Dariyo, 2008) menyatakan bahwa kenakalan yang dilakukan remaja dapat dibedakan menjadi berikut.
1) Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain, misalnya perkelahian atau tawuran pelajar.
2) Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas, mencuri, dan mencopet.
3) Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orang tua dan guru, antara lain, membolos, mengendarai kendaran tanpa surat izin mengemudi, dan pergi dari rumah.
4) Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi dan menggunakan senjata tajam.


Mengapa kenakalan remaja bisa terjadi? Sejumlah ahli mengemukakan bahwa kenakalan remaja dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut.
• Pendidikan massal yang mengabaikan pengembangan watak dan kepribadian remaja.
• Kurangnya usaha orang tua, para pendidik, dan tokoh agama dalam menanamkan moralitas dan keyakinan terhadap kebaikan nilai/norma kepada remaja.
• Kurang ditumbuhkannya rasa tanggung jawab sosial dari dalam diri remaja.

RANGKUMAN



1) Kenakalan remaja merupakan salah satu gejala sosial yang sering terdapat pada lingkungan sosial. 
2) Gejala sosial yang berupa kenakalan remaja ini hendaknya segera diatasi sesegera mungkin.

Maraknya Perilaku Menyimpang

Proses sosialisasi yang dibangun melalui interaksi sosial tidak selamanya menghasilkan pola-pola perilaku taat nilai dan norma (conformity). Adakalanya proses sosialisasi tersebut justru menghasilkan perilaku yang tak bersesuaian dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial tadi disebut perilaku menyimpang.

Secara umum, perilaku menyimpang terjadi disebabkan oleh sejumlah faktor, di antaranya:
a) Ketidaksanggupan menyerap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
b) Proses belajar yang menyimpang.
c) Ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial.
d) Ikatan sosial yang berlainan dan pengaruh kelompok sosial.
e) Akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang.


Teori-teori perilaku menyimpang mencoba mencari akar penyebab perilaku menyimpang dengan mengkaji berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat.
Teori Differential Association
Teori pergaulan yang berbeda (differential association) dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland. Menurut teori ini, penyimpangan bersumber dari pergaulan dengan sekelompok orang yang telah menyimpang. Penyimpangan diperoleh melalui alih budaya (cultural transmission). Melalui proses ini, seseorang mempelajari suatu sub-kebudayaan menyimpang (deviant subculture).
Teori Labeling
Menurut Edwin M. Lemert, seseorang menjadi penyimpang karena proses labeling yang diberikan masyarakat kepadanya. Maksudnya ialah pemberian julukan, cap, atau stigma (biasanya negatif) kepada seseorang. Sebagai tanggapan terhadap julukan, cap, atau stigma tersebut, pelaku kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi tindakannya, sehingga akhirnya akan menganut suatu gaya hidup menyimpang dan penyimpangan itu pun menjadi suatu kebiasaan.
Teori Anomie
Robert K. Merton mencoba menjelaskan penyimpangan melalui struktur sosial. Menurut Merton, struktur sosial bukan hanya menghasilkan perilaku yang konformis (sesuai dengan norma), tetapi juga perilaku menyimpang (tidak mengindahkan norma). Struktur sosial yang berlaku bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan. Dalam struktur sosial, dijumpai adanya tujuan dan kepentingan. Tujuan tersebut adalah hal-hal yang pantas dan baik. Selain itu, diatur juga cara untuk meraih tujuan tersebut. Perilaku menyimpang akan terjadi kalau tidak ada kaitan antara tujuan (cita-cita) yang ditetapkan dan cara untuk mencapainya.


Menurut Edwin M. Lemert (1951) perilaku menyimpang atau penyimpangan terbagi atas dua bentuk:
Penyimpangan Primer
Penyimpangan primer merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang, tetapi masyarakat masih bisa mentolerirnya, sehingga pelaku tetap dapat diterima oleh masyarakat. Ciri penyimpangan primer, yaitu bersifat sementara (temporer) dan tidak dilakukan berulang-ulang.
Penyimpangan Sekunder
Adalah penyimpangan yang berwujud tindak kejahatan atau kriminalitas, sehingga masyarakat tak lagi bisa menerimanya. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya.


Penyimpangan juga dapat dibedakan berdasarkan sifatnya sebagai berikut :
Penyimpangan positif
Penyimpangan positif ialah penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang ideal (didambakan). Awalnya, cara atau tindakan yang dilakukan itu bisa jadi tampak menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Tapi di kemudian hari, tindakan tersebut dapat membawa dampak positif atau kemajuan dalam kelompok maupun masyarakat.
Penyimpangan negatif
Penyimpangan negatif merupakan kencenderungan bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang rendah dan akibatnya pun selalu buruk.

RANGKUMAN



1) Proses sosialisasi yang dibangun melalui interaksi sosial tidak selamanya menghasilkan pola-pola perilaku taat nilai dan norma (conformity). 
2) Adakalanya proses sosialisasi tersebut justru menghasilkan perilaku yang tak bersesuaian dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. 
3) Tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial tadi disebut perilaku menyimpang.

Ancaman terhadap Eksistensi Budaya Tradisi


Indonesia, negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, memiliki kemajemukan suku dan ragam budaya tradisi sebagai ciri khas daerah masing-masing. Sebagai negara bangsa multikultural yang terlahir atas dasar kesepakatan berbagai nilai, baik bersifat sentripetal (pusat) maupun sentrifugal (daerah), Indonesia sejatinya patut bersyukur karena diwarisi begitu banyak budaya tradisi. Keanekaragaman budaya tradisi tersebut menjadi kebanggaan masyarakat, sekaligus nilai jual bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia. Sedemikian kayanya Indonesia, hingga membuat negara lain merasa iri dan berusaha mengklaim apa yang bukan miliknya.
Sejumlah media membentang berbagai catatan klaim Malaysia atas kekayaan budaya tradisi asli Indonesia, sebagai berikut :
November 2007
Malaysia mengklaim kesenian Reog Ponorogo dari Jawa Timur, yang menampilkan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, sebagai warisan budayanya. Awal dari klaim ini adalah ketika website Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia dengan alamat situs http://www.heritage.gov.my memasang gambar Reog Ponorogo dan menyebutnya sebagai tarian asal Malaysia yaitu Tari Barongan.
Desember 2008
Lagu Rasa Sayange atau Rasa Sayang-Sayange, yang berbahasa asli Maluku dan selalu dinyanyikan secara turun-temurun oleh masyarakat Maluku untuk mengungkapkan kecintaan terhadap lingkungan juga sosialisasi nilai sosial bagi anak, dimanfaatkan oleh Kementerian Pariwisata Malaysia guna mempromosikan kepariwisataan negerinya. Pihak Malaysia lantas mengklaim lagu tersebut sebagai lagu kepulauan nusantara (Malay archipelago). 
Januari 2009
Pengukuhan batik sebagai warisan budaya milik Indonesia menguat sejak Malaysia mengklaim batik. Untuk mengakhiri polemik, Pemerintah Indonesia akhirnya mendaftarkan batik ke UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) demi mendapatkan pengakuan. Akhirnya, pada Oktober 2009, batik Indonesia secara resmi diakui UNESCO dengan pencantuman ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-Benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam Sidang IV Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-Benda di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Februari 2009
Situs resmi pemerintah Malaysia (warisan.gov.my) mencantumkan wayang kulit dalam Daftar Warisan Kebangsaan dengan nomor register P.U.(A) 85. Padahal, pada November 2003, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) telah mengakui wayang kulit (flat leather shadow puppet) sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi serta warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) dari Indonesia.
Februari 2009
Situs resmi pemerintah Malaysia (warisan.gov.my) mencantumkan gamelan dalam Daftar Warisan Kebangsaan dengan nomor register P.U.(A) 78. Gamelan yang diklaim Malaysia sama persis dengan gamelan yang berasal dari Jawa. Alat-alatnya terdiri dari Gong Agong, Gong Sawokan, Gendang Ibu, Gendang Anak, Saron. 
Agustus 2009
Tari Pendet, yang jelas-jelas awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di berbagai Pura di Bali, juga sempat diklaim oleh Malaysia dengan menampilkannya dalam iklan pariwisata negeri jiran yang selalu menyebut diri sebagai ‘The Truly Asia’ itu.
Maret 2010
Malaysia mengklaim angklung sebagai warisan budayanya. Dalam situs www.musicmall_asia.com milik Malaysia disebutkan bahwa angklung berasal dari Malaysia, tepatnya Kota Johor. Padahal, angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Jawa Barat. Alat musik ini terbuat dari bambu dan dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) hingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. 
Klaim Malaysia berakhir seiring pencantuman angklung Indonesia oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-Benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam Sidang V Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-Benda di Nairobi, Kenya pada November 2010.
Juni 2012
Malaysia kembali mengklaim budaya tradisi Indonesia sebagai miliknya. Kali ini, negeri jiran itu mengakui Tari Tor-tor dan Gordang Sembilan sebagai peninggalan nasional mereka.
Di Indonesia, dua kesenian tersebut dikenal sebagai kebudayaan masyarakat Batak, Sumatera Utara. Bahkan, tari Tor-tor selalu ditarikan dalam upacara adat masyarakat Batak. Namun, Malaysia secara sepihak berniat meregistrasi kebudayaan itu berdasarkan Bab 67 Undang-Undang Peninggalan Nasional Malaysia.

Untuk melindungi dan mengembangkan budaya tradisi, selain berupaya menginventarisasi seluruh kekayaan budaya serta mengajukannya untuk memperoleh pengakuan dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), pemerintah juga telah memberikan penghargaan bagi puluhan maestro seni tradisi, di antaranya, Abdullah Abdul Rahman (maestro tari, Nanggroe Aceh Darussalam), Ismail Saroeng (serunai, Nanggroe Aceh Darussalam), Alistar Nainggolan (musik tradisi Batak, Sumatera Utara), Zulkaidah Boru Harahap (opera Batak, Sumatera Utara), Ibrahim Ahmad (wayang bangsawan, Kepulauan Riau), M Ali Ahmad (pantun, Kepulauan Riau), Sawir St Sati (syair dan musik, Sumatera Barat), Islamidar (sampelong, Sumatera Barat), Sahilin (pemantun gitar, Sumatera Selatan), Saidi Kamaludin (dulmuluk, Sumatera Selatan), Bodong (topeng Betawi, Jakarta), Surya Bonang (topeng Betawi, Jakarta), Dalang Taham (wayang Cirebon, Jawa Barat), Mimi Rasina (tari topeng, Jawa Barat), Tan Deseng (kecapi suling, Jawa Barat), dan lainnya. Kepada mereka, yang telah berumur di atas 50 tahun, diberikan tunjangan sejumlah nominal tertentu agar dapat leluasa menularkan kemahirannya masing-masing pada generasi muda secara berkelanjutan.

RANGKUMAN



1) Indonesia, negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, memiliki kemajemukan suku dan ragam budaya tradisi sebagai ciri khas daerah masing-masing.
2) Sedemikian kayanya Indonesia, hingga membuat negara lain merasa iri dan berusaha mengklaim apa yang bukan miliknya.

Korupsi


Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar crimes). Korupsi telah menjadi gejala sosial yang sangat meresahkan masyarakat saat ini. Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) secara garis besar, mencakup unsur-unsur di antaranya: 
• perbuatan melawan hukum, 
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, 
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan 
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.


Selain itu, terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya: 
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), 
• penggelapan dalam jabatan, 
• pemerasan dalam jabatan, 
• ikut serta dalam pengadaan barang fiktif (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan 
• menerima gratifikasi atau pemberian dari pihak lain sehubungan dengan jabatannya (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).


Berdasarkan berbagai hal tersebut dan kriteria lainnya, korupsi dapat dibedakan sebagai berikut. 
• Korupsi Ekstarsif 
Korupsi ekstarsif adalah korupsi yang mencakup suap dari pengusaha kepada penguasa untuk memeroleh perlindungan dan kemudahan dalam usahanya. 
• Korupsi Manipulatif 
Korupsi manipulatif adalah manipulasi yang dilakukan pengusaha dengan bantuan penguasa untuk mengatur mekanisme kebijakan dan peraturan perundangan hingga sedemikian rupa agar mendatangkan keuntungan bagi mereka. 
• Korupsi Nepotetik dan Kronisme 
Korupsi nepotetik dan kronisme adalah perlakuan istimewa yang diberikan penguasa kepada sanak audara dan orang-orang dekatnya dalam rekrutmen atau pembagian aktivitas yang mendatangkan keuntungan sosial, ekonomi, maupun politik.
• Korupsi Subversif
Korupsi subversif adalah korupsi yang merujuk pada korupsi yang merugikan keuangan negara dan dapat mengancam stabilitas nasional. Korupsi merupakan tantangan serius bagi pemerintah. Di dalam dunia politik, korupsi meruntuhkan demokrasi dan merusak tatanan pemerintahan yang baik. Korupsi juga menghambat pembangunan ekonomi, karena mengakibatkan distorsi dan ketidakefisienan di berbagai sektor. Oleh sebab itu, korupsi dapat dianggap sebagai gejala sosial yang harus segera ditanggulangi dan diberantas secara bersama-sama.

Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK adalah lembaga pengendalian sosial di Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bertujuan untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi.
KPK tampaknya tidak cepat berpuas diri dengan hasil kerjanya. KPK pun mulai bergiat membangun Sistem Integritas Nasional (SIN) yang memiliki sejumlah fase. Pencegahan diawali dengan kajian secara menyeluruh terhadap peraturan atau prosedur yang dianggap potensial memberi celah tindak pidana korupsi. Pada tahap selanjutnya, KPK akan memberikan rekomendasi atau saran perbaikan. Tidak hanya itu, pencegahan yang terintegrasi juga mencakup kegiatan koordinasi dan pengawasan. Pencegahan, berupa kegiatan pelaksanaan koordinasi, melibatkan instansi lain yang bekerjasama melakukan usaha-usaha pencegahan korupsi dan pengawasan berkaitan pelayanan publik.
KPK juga akan membuka penyadaran di hilir, yakni menyadarkan masyarakat luas terhadap akibat yang ditimbulkan korupsi. Korupsi hendaknya dilihat sebagai bahaya terhadap eksistensi negara. Lihat saja bahaya korupsi, di antaranya rubuhnya jembatan yang baru dibangun, jalan umum baru yang kemudian lekas rusak, atau pendirian gedung yang tidak mampu bertahan lama.
Efek sosialnya pun turut mengkhawatirkan. Contohnya adalah penduduk miskin yang akan terus hidup sengsara. Kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, malah dijadikan lahan memperkaya pribadi. Akibatnya, kepercayaan masyarakat kepada para pengelola pemerintah menjadi pudar, sehingga melahirkan konflik baru di masyarakat.

RANGKUMAN



1) Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar crimes). Korupsi telah menjadi gejala sosial yang sangat meresahkan masyarakat saat ini.
2) Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK adalah lembaga pengendalian sosial di Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bertujuan untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi.

Kemiskinan

Sebagaimana tercantum pada “Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan” yang disusun oleh BAPPENAS, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki atau pun perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik serta bermartabat.
Hak-hak dasar terdiri atas hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan diakui dalam perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum dalam undang-undang, antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik perempuan atau pun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling memengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat memengaruhi pemenuhan hak lainnya.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Adapun yang disebut penduduk miskin adalah jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita setiap bulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita setiap bulan di bawah GK dikategorikan penduduk miskin.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita setiap hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, lemak, dan sebagainya).
Sementara Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Komoditi tersebut adalah perumahan, pendidikan, pakaian jadi, bensin, listrik, dan ongkos angkutan.

Jika dikaji secara lebih mendalam sebenarnya terdapat bentuk-bentuk dari kemiskinan itu sendiri. Adapun bentuk kemiskinan tersebut adalah sebagai berikut.
• Kemiskinan Struktural
Kemiskinan yang disebabkan akibat lemahnya sistem atau struktur sosial di dalam masyarakat. Masyarakat miskin seolah-olah dibuat tidak berdaya akibat adanya pola kebijakan dan aturan dari pemerintah selaku penguasa yang dianggap cenderung tidak berpihak apalagi memperhatikan kondisi masyarakat miskin agar dapat lebih mandiri dan berdaya. Fenomena sosial kemiskinan struktural ini dapat kita lihat dari terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap lapangan pekerjaan dan pendidikan secara layak dan bermartabat.
• Kemiskinan Kultural
Kemiskinan ini berasal dari merosotnya moral dan mentalitas akibat kebudayaan yang diyakini dan dianut oleh suatu masyarakat. Fenomena kemiskinan kultural itu dapat kita lihat dari sifat-sifat yang seringkali dipertahankan di kalangan masyarakat yang masih miskin yang seharusnya bisa ditanggulangi secara bersama-sama seperti sifat malas, tidak mau bekerja keras, selalu menggantungkan hidupnya kepada belas kasihan orang lain, pasrah kepada nasib tanpa ada kemauan untuk berusaha dan bekerja. Kemiskinan kultural ini masih dianggap sebagai masalah sosial yang sangat serius dan harus ditangani agar masyarakat miskin dapat bangkit berdaya, berusaha dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

RANGKUMAN



1) Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
2) Jika dikaji secara lebih mendalam sebenarnya terdapat bentuk-bentuk dari kemiskinan itu sendiri.