Ledakan populasi pada kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun
laju kelahiran yang tidak terkendali, menjadi salah satu penyebab
terbentuknya pemukiman kumuh. Lebih lanjut, hal ini diakibatkan oleh
kesenjangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah
untuk menyediakan pemukiman-pemukiman baru yang layak, sehingga warga
mencari alternatif tinggal di pemukiman kumuh untuk mempertahankan
kehidupan di kota. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai
daerah pemukiman pun akhirnya digunakan sebagai area pemukiman kumuh,
seperti bantaran sungai, pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di
sekitar pabrik atau pusat kota, bahkan di bawah jembatan.
Prof. Dr. Parsudi Suparlan, akademisi yang ahli dalam masalah
perkotaan, mengemukakan sejumlah ciri pemukiman kumuh adalah sebagai
berikut.
1) Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2) Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3) Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan
adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi
penghuninya.
4) Pemukiman kumuh merupakan suatu komunitas yang hidup secara
tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu
terwujud sebagai:
• komunitas tunggal yang tinggal di atas tanah milik negara dan dapat digolongkan sebagai hunian liar,
• komunitas tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga), dan
• komunitas tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan dan bukan hunian liar.
5) Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beraneka
ragam, begitu juga asal-muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga
dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan kemampuan ekonomi mereka.
6) Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah pekerja sektor informal.
Sementara Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian
Dalam Negeri RI juga mengungkap beberapa kriteria pemukiman yang
dianggap kumuh adalah sebagai berikut.
a) Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah dan memiliki sistem sosial yang rentan.
b) Sebagian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal.
c) Lingkungan pemukiman, rumah, fasilitas, dan prasarananya di bawah
standar minimal sebagai tempat bermukim, misalnya memiliki:
• kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2,
• kepadatan bangunan > 110 bangunan/ha,
• kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan),
• kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk,
• kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal sebagai tempat tinggal,
• pemukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit, dan
• kawasan pemukiman berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan non fisik) bagi manusia dan lingkungannya.
Sehubungan keterbatasan dalam beragam aspek, pemukiman kumuh
sejatinya menjadi lahan yang subur bagi bertumbuhnya beragam masalah
sosial. Memusatnya kemiskinan di satu lokasi, berpotensi melahirkan
berbagai perilaku menyimpang dan kejahatan. Pada akhirnya hal itu akan
mengancam keseimbangan sosial di perkotaan.
RANGKUMAN
1) Suatu kota sangat dipengaruhi oleh mobilitas penduduknya.
2) Warga yang mampu cenderung memilih tempat hunian menjauhi pusat kota dengan alasan kenyamanan.
3) Sebaliknya, warga miskin akan cenderung memilih tempat tinggal di
pusat kota, demi memudahkan mencari kerja (bagi yang belum memiliki
pekerjaan) dan menghemat biaya transportasi menuju tempat kerja (bagi
yang telah bekerja).
4) Tidak tersedianya fasilitas perumahan yang terjangkau oleh
penghasilan warga miskin dan tingginya kebutuhan akses menuju pusat
kota, menjadi penyebab munculnya kawasan pemukiman kumuh di perkotaan